Ramai – Ramai Tolak RUU Penyiaran & Tapera, Kenapa?

RUU Penyiaran dan Tapera

Jatimhariini.com – Ada beberapa case yang belakangan ini viral adalah tentang RUU Penyiaran terbaru dan juga kebijakan TAPERA (Tabungan Perumahan Rakyat) yang bahkan sudah ‘diteken’ lewat peraturan pemerintah. Bukannya banyak yang setuju, banyak pihak akhirnya ramai tolak RUU Penyiaran & kebijakan Tapera.

Untuk yang belum mengikuti terkait case RUU Penyiaran & Tapera, supaya lebih paham, pada kesempatan kali ini, akan kami bagikan alasan mengapa banyak pihak akhirnya menyuarakan penolakan terhadap RUU Penyiaran dan bahkan kebijakan Tapera. So, simak informasi selengkapnya berikut ini!

RUU Penyiaran

RUU Penyiaran yang dirancang memang kabarnya ‘akan ditunda’. Namun penundaan bukan berarti ‘pemberhentian’ atau ‘pembatalan’ pembahasan RUU. Sehingga bisa jadi, ketika aksi tolak RUU Penyiaran sudah mereda, akhirnya rancangan tersebut benar – benar diimplementasikan sebagaimana beberapa kasus yang sempat terjadi dalam kurun waktu 5 tahun terakhir ini.

Adapun terkait penundaan revisi RUU Penyiaran terjadi karena proses revisi atas UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran tersebut menuai protes dari kalangan masyarakat sipil dan pemangku kepentingan terkait. UU Nomor 32 Tahun 2002 yang akan direvisi dinilai akan mengganggu kebebasan pers dan bahkan membungkam kebebasan pers di Indonesia.

Semua itu wajar, perubahan rancangan Undang – Undang yang membungkam kebebasan pers wajar terjadi karena memang sedari awal penyusunan draf RUU Penyiaran tidak pernah melibatkan pemangku kepentingan terkait, dewan pers yang terlibat dan menjadi objek di dalam RUU tersebut sehingga substansinya pasti bermasalah hingga akhirnya viral seperti belakangan ini.

Lantas, apa saja poin – poin dalam RUU Penyiaran yang dinilai membungkam kebebasan pers?

1. KPI memiliki wenang dalam menangani masalah sengketa jurnalistik

Pada pasal 8A ayat (1) terkait RUU Penyiaran, disebutkan bahwa KPI dalam menjalankan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (1) huruf (q), memiliki wenang dalam penyelesaian sengketa jurnalistik di bidang penyiaran.

Klausul ini dinilai sudah bertentangan dengan apa yang tertuang pada pasal 15 ayat (2) huruf D UU Nomor 40 tahun 1999, terkait Pers, yang menyatakan bahwa kewenangan penyelesaian sengketa pers berada di Dewan Pers karena salah satu tugas dari Dewan Pers, yaitu :

Memberikan pertimbangan dan upaya penyelesaian pengaduan masyarakat terkait kasus – kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.

2. Larangan penayangan jurnalisme investigasi

Di dalam pasal 50B ayat (2) huruf C, pokok SIS (Standar Isi Siaran) melarang penayangan hasil produk jurnalisik investigasi secara eksklusif.

Poin ini dinilai sudah tumpang tindih dengan pasal 4 huruf q UU Pers yang menegaskan bahwa tak lagi ada ruang sensor, pemberedelan, atau pelarangan atas karya jurnalistik, termasuk di dalamnya liputan jurnalisme investigasi.

3. Larangan penayangan terkait kasus pencemaran nama baik

Pada pasal 50B ayat (2) huruf k disebutkan bahwa SIS (Standar Isi Siaran) memuat larangan terkait penayangan isi siaran dan juga konten siaran yang mengandung di dalamnya fitnah, penghinaan, berita bohong, penodaan agama, pencemaran nama baik, kekerasan, juga terkait radikalisme dan terorisme.

4. Sengketa pers akan diselesaikan melalui pengadilan

Pada pasal 15E diatur bahwa sengketa yang timbul akibat keputusan KPI dapat diselesaikan melalui pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan.

Prof Andi M. Faisal Bakti, Guru Besar Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta menilai bahwa RUU ini malah membuat mundur kualitas jurnalisme yang ada di Indonesia.

Tak tertinggal, prof Andi M. Faisal Bakti juga mengingatkan bahwa undang – undang yang dirancang perlu mengacu pada UU Nomor. 40 Tahun 1999 yang menjamin kebebasan pers. Karena itu, RUU Penyiaran yang kini sedang diproses di DPR memang sudah sepatutnya DITOLAK.

Hal senada diungkapkan oleh guru besar Ilmu Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati, Prof Asep Saeful Muhtadi, yang mengatakan bahwa pers memiliki peran strategis bukan hanya memberikan informasi dan hiburan atau pendidikan saja, akan tetapi juga memiliki kontrol pengawasan terhadap DPR, pemerintah, atau lembaga negara dalam menjalankan tugasnya. Jika fungsi pers dibatasi, tentu fungsi kontrol tersebut juga akan semakin hilang.

Kebijakan Tapera

Apa itu Tapera?

Tapera merupakan kependekan dari Tabungan Perumahan Rakyat. Tapera, intinya adalah sebuah simpanan peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu untuk kepentingan pembiayaan perumahan dan atau akan dikembalikan hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir. Hal ini tercantum pada pasal 1 PP Nomor 25 tahun 2020.

Tapera

Mungkin niat dari keberlangsungan Tapera memang baik, sepanjang jika Tapera memang dipungut dan diperuntukkan bagi mereka yang tidak memiliki rumah. Hanya saja, yang akhirnya menjadi polemik adalah ketika bahkan karyawan swasta, freelancer, dan lainnya yang sudah memiliki rumah tetap akan dikenakan pemungutan 2,5% – 3% untuk tapera.

2,5% untuk karyawan swasta karena 0,5%-nya dibayarkan perusahaan, sementara 3% dibebankan untuk pelaku usaha dan atau pekerja lepas yang tidak memiliki naungan perusahaan dan memiliki gaji atau penghasilan setara UMR setiap bulannya.

Dikatakan, terkait Tapera sudah diteken oleh presiden Joko Widodo yang sedang menjabat saat ini dengan PP Nomor 21 Tahun 2024 yang merupakan perubahan atas PP Nomor 25 tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Kabarnya, kebijakan pemungutan dana dari rakyat terkait Tapera akan diberlakukan selambat – lambatnya pada 2027 nanti. Dana Tapera yang terhimpun akan dikelola oleh BP Tapera (Badan Pengelola Tapera) yang dibentuk atas UU Nomor 4 Tahun 2016 mengenai Tabungan Perumahan Rakyat.

Melalui program Tapera, peserta yang termasuk ke dalam kategori Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dapat menerima manfaat Kredit Pemilikan Rumah (KPR), Kredit Bangun Rumah (KBR), dan Kredit Renovasi Rumah (KRR) dengan masa tenor panjang yakni sampai 30 tahun dan dengan suku bunga tetap di bawah suku bunga pasar.

Alasan Kenapa Ramai Tolak RUU Penyiaran & Tapera?

Ramainya aksi tolak RUU Penyiaran & Tapera dinilai menjadi aksi pelemahan pemerintah terhadap kebebasan pers dan juga menjadi aksi pemerintah untuk memberikan ‘tekanan’ bagi rakyat kecil alih – alih menyejahterakan rakyat kecil.

Lantas, bagaimana menurutmu? Kamu termasuk tim yang tolak RUU Penyiaran & Tapera atau setuju dengan dua kebijakan yang kontroversial baru – baru ini tersebut?.**