Jatimhariini.com – Demonstrasi mahasiswa terjadi di beberapa kampus seperti USU, UNRI, Unsoed, dan UNS, terhitung sejak 14 Mei 2024 lalu buntut UKT mahal atau kenaikan kelompok UKT di sejumlah kampus.

Pada akhirnya menjadi sorotan publik, pejabat Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi akhirnya angkat suara. Hanya saja, pernyataan yang diberikan bukan meredam kemarahan mahasiswa melainkan justru memantik api yang semakin panas terkait ‘polemik’ kenaikan nilai UKT di sejumlah kampus tersebut.

Lantas, apa tanggapan pejabat Kemdikbud terkait soal UKT mahal? Di sini, kita akan membahasnya!

Soal UKT Mahal, Begini Pernyataan Pejabat Kemdikbud

Tjitjik, selaku Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek, di kantor Sekretariat Kemendikbudristek, Rabu, 15 Mei 2024, menyebut bahwa pendidikan tinggi merupakan pendidikan tersier yang tidak termasuk ke dalam pendidikan wajib belajar 12 tahun.

Sementara jenjang pendidikan yang termasuk ke dalam wajib belajar 12 tahun yang ditetapkan pemerintah terhitung dari pendidikan SD, SMP, sampai dengan SMA saja.

Tjitjik, Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek

“Kita kan bisa melihat ya bahwa pendidikan tinggi ini adalah tertiary education. Jadi bukan wajib belajar. Artinya tidak semua lulusan SLTA, SMK itu wajib masuk perguruan tinggi. Ini sifatnya adalah pilihan,” kata Tjitjik di Kantor Kemendikbudristek, Rabu, 15 Mei 2024, dikutip dari akun Youtube Jawa Pos TV.

Tjitjik melanjutkan, “Apa konsekuensinya karena ini adalah tertiary education? Pendanaan pemerintah untuk pendidikan itu difokuskan, diprioritaskan, untuk pembiayaan wajib belajar karena itu amanat Undang-Undang,”

Meski memang betul pendidikan wajib untuk anak – anak Indonesia adalah 12 tahun, akan tetapi pernyataan Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek, Tjitjik tersebut dinilai ‘terlalu frontal’ dan berpotensi menyederai hati anak bangsa yang sedang atau bahkan ingin berjuang menuntaskan pendidikan ‘tersier’-nya tersebut.

Hal senada diungkapkan oleh Ubaid Matraji, Koordinator Nasional Jaringan Pemerhati Pendidikan Indonesia (JPPI), yang menilai bahwa pernyataan Tjitjik tersebut kurang tepat.

“Pernyataan Ibu Tjitjik mampu melukai perasaan masyarakat dan menciutkan mimpi anak bangsa untuk bisa duduk di bangku kuliah. Dengan tegas, Ibu Tjitjik menyatakan bahwa pendidikan tinggi (PT) adalah kebutuhan tersier. Itu salah besar,” kata Ubaid dalam siaran persnya, Jumat, 17 Mei, 2024.

Meski demikian, Tjitjik mengklaim bahwa pemerintah tetap bertanggung jawab dengan memberikan pendanaan lewat BOPTN meski besarannya tidak akan mampu menutup Biaya Kuliah Tunggal (BKT), oleh sebab itu, sisanya dibebankan pada setiap mahasiswa melalui UKT.

Tjitjik menambahkan, UKT tidak mengalami kenaikan, akan tetapi dilakukan penyesuaian sehingga terdapat penambahan kelompok UKT pada beberapa perguruan tinggi negeri (PTN). Penambahan kelompok UKT tersebut dilakukan oleh beberapa PTN untuk memberikan fasilitas yang lebih baik pada mahasiswa.

Awal Mula Terjadinya Gelombang Permasalahan UKT

Gelombang permasalahan biaya UKT, awalnya terjadi karena beberapa kampus memberikan lompatan biaya UKT yang besar khususnya pada UKT golongan empat ke golongan lima dan seterusnya dengan besaran lompatan rata – rata sekitar 5 – 10%.

Hal itulah yang kemudian menjadi polemik sampai akhirnya terjadi gelombang demonstrasi mahasiswa perguruan tinggi negeri beberapa waktu belakangan ini. Tentu semua pihak berharap bahwa masalah ini dapat terselesaikan dengan baik ke depannya di masing – masing kampus.

Menurut Tjitjik juga, pada setiap PTN, pemerintah sudah mengatur adanya UKT golongan satu dan UKT golongan dua minimal sebanyak 20% guna menjamin masyarakat kurang mampu atau bahkan tidak mampu tetap bisa mengakses pendidikan tinggi yang berkualitas.

Tjitjik pun mengingatkan kepada setiap PTN yang akan melakukan penyesuaian terhadap kelompok UKT mahasiswa untuk mengusulkan rencananya terlebih dahulu kepada Kemendikbudristek guna mengurangi atau meminimalisir kesewenangan setiap penyelenggara kampus terhadap mahasiswa.
Kalau rencana usulan tersebut mendapat persetujuan, baru mereka harus mengabarkan kepada mahasiswa tentang kenaikan atau besaran kenaikannya dan jumlah yang harus dibayarkan berapa.

Tjitjik menambahkan, Abdul Haris, selaku Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek sudah memanggil seluruh rektor dari setiap PTN (Perguruan Tinggi Negeri) menyusul terjadinya demonstrasi mahasiswa terkait persoalan UKT mahal untuk menemukan solusi dari masalah tersebut. Tentu semua pihak berharap agar permasalahan tersebut menemui titik terang. **