Jatimhariini.com – Menjelang masa tenang pemilu, 11 Februari 2024, muncul film dokumenter penuh keberanian yang diunggah di channel YouTube berjudul Dirty Vote.
Film yang disutradarai oleh Dandhy Dwi Laksono ini sempat hilang beberapa jam setelah penayangannya, namun kini 12 Februari 2024, Dirty Vote sudah dapat diakses kembali di channel YouTube resminya dengan judul DIRTY VOTE – Full Movie (OFFICIAL).
Hanya dalam kurun waktu satu hari saja setelah peluncurannya, film dokumenter ini sudah mendapatkan 6,3 juta views. Sebelumnya, ketika film ini hilang dari YouTube, channel YouTube Reffly Harun dan PSHK Indonesia mengunggahnya dan mendapatkan jumlah views yang besar pula.
Hal yang kemudian banyak orang perbincangkan juga tentang film ini adalah apa sih yang dibahas di dalamnya?, untuk Anda yang belum nonton film dokumenter berdurasi hampir 2 jam tersebut, dan ingin tahu isi dari filmnya apa bisa simak artikel yang kami bagikan ini. Cek sampai akhir!
Dirty Vote : Sinopsis Film Dokumenter Pemilu 2024
Dirty Vote berdurasi 1 jam 57 menit dan menampilkan tiga pakar hukum tata negara yang menyampaikan berbagai sudut pandangnya mengenai desain kecurangan yang ditemukan pada pelaksanaan kontestasi pemilu 2024 ini.
Ketiga pakar hukum tata negara yang terlibat di dalam film ini adalah Zainal Arifin Mochtar, Feri Amsari, dan juga Bivitri Susanti.
Dalam film, ketiganya menjelaskan tentang kecurangan pemilu 2024 yang didesain dengan waktu yang lama, sangat masif dan bahkan melibatkan banyak pihak. Beberapa di antara pihak yang terlibat, bahkan ‘sebenarnya’ ada yang dikorbankan namun tak merasa menjadi korban.
Narasi yang ditampilkan pada Dirty Vote banyak menjelaskan tentang bagaimana para politisi mempermainkan rakyat demi ambisi pribadi dan kepentingan golongan termasuk partai mereka saja. Tak hanya di ruang lingkup daerah, bahkan di ruang lingkup pusat.
Contohnya adalah ketidaknetralan pejabat publik termasuk ketua MK yang melakukan cukup banyak pelanggaran etik demi meloloskan sang ponakan untuk maju mendampingi Prabowo Subianto dalam kontestasi pemilu 2024.
Tekanan ‘atasan’ terhadap kepala desa, kepala daerah, dan ASN agar memihak salah satu pasangan calon yang didukung oleh sang penguasa, penyaluran bansos yang dilakukan ‘kurang’ beretika, penggunaan fasilitas publik yang sangat sulit dipisahkan dalam pelaksanaan kampanye, dan masih banyak lagi indikasi desain kecurangan lain yang berlangsung sistematis pada kontestasi pemilu 2024 ini.
Menurut Feri Amsari, semua desain kecurangan tersebut tidaklah didesain dalam semalam dan tidaklah didesain sendirian. Melainkan, sebagian besar kecurangan yang sudah dilaksanakan saat ini merupakan strukturisasi kecurangan otomatis, sistematis, kompleks, dan masif yang dilakukan secara bersama – sama dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.
Lantas, siapa yang menikmati hasilnya? Menurut, Zainal Arifin Mochtar, pada akhirnya semua kecurangan yang sebenarnya didesain lama itu jatuh ke tangan pihak yang memegang kunci tonggak kekuasaan. Ia adalah pejabat atau panglima tertinggi negara yang mampu menggerakkan aparatur yang bekerja dibawah kendalinya dan memiliki kuasa untuk memutar anggaran.
Sementara bagi Bivitri Susanti, desain kecurangan pemilu 2024 bukan rencana hebat karena sudah banyak negara yang melakukan skenario serupa. Bivitri juga menyebut, dalam penyusunan dan pelaksanaan kecurangan semacam ini tak perlu orang pintar atau cerdas, cukup orang yang punya mental culas dan tahan malu yang bisa melakukannya.
Pada akhirnya, kesimpulan dari film dokumenter Dirty Vote adalah bahwa banyak kecurangan yang terjadi pada pemilu 2024 sehingga pemilu sekarang ini tak bisa dianggap baik – baik saja.
Fakta Film Dokumenter ‘Dirty Vote’
1. Bukan film pertama yang disutradarai Dandhy
Yaps, Dirty Vote bukan film dokumenter pertama yang diproduksi oleh sang sutradara, Dandhy Dwi Laksono. Sebelumnya, pada 2014, Dandhy sudah meluncurkan film ‘Yang Ketujuh’ yang menceritakan mengenai dua kandidat calon presiden 2014 yakni Prabowo Subianto – Hatta Rajasa, dan Joko Widodo – Jusuf Kalla.
Tiga tahun kemudian, menjelang pilkada DKI Jakarta 2017, Dandhy kembali meluncurkan film berjudul Jakarta Unfair. Pun menjelang pemilu 2019, Dandhy kembali meluncurkan film berjudul Sexy Killers. Dan demikian dengan tahun 2024 ini, Dandhy kembali meluncurkan film Dirty Vote yang menjadi trending topik di aplikasi X.
2. Proses produksinya melibatkan 20 lembaga
Film dokumenter Dirty Vote, menurut Dandhy, dikerjakan dalam waktu 2 minggu dan mencakup berbagai macam proses mulai dari riset, produksi, penyuntingan, sampai dengan rilis.
Pembuatannya melibatkan sebanyak 20 lembaga yang di antaranya melibatkan AJI (Aliansi Jurnalis Indonesia), Bangsa Mahardika, Ekspedisi Indonesia Baru, Ekuatorial, Fraksi Rakyat Indonesia, Perludem, ICW (Indonesia Corruption Watch), JATAM, LBH Pers, Lokataru, Yayasan Kurawal, YLBHI, dan masih banyak lagi.
3. Sudah mendapatkan lebih dari 6 juta tayangan
Yaps, tak butuh waktu lama, film dokumenter tersebut segera mendapatkan jumlah tayangan yang sangat banyak. Film Dirty Vote bahkan sudah mendapatkan sebanyak 6,3 juta tayangan ketika artikel ini dibuat.
Sudah nonton atau akan nonton setelah membaca artikel ini?
Jangan lupa baca kabar pemilu : Debat Capres Terakhir Kondusif, Ini Kata Penutup Ketiga Capres
4. Melibatkan 3 pakar hukum
Yaps, sebagaimana yang kita sudah ceritakan di awal bahwa ada tiga pakar tata hukum yang terlibat dalam produksi film ini.
Bivitri Susanti merupakan seorang dosen hukum tata negara di STH (Sekolah Tinggi Hukum) Indonesia Jentera serta menjabat sebagai wakil ketua I Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera.
Bivitri mendapatkan gelar sarjana hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada tahun 1999. Studinya kemudian berlanjut di Inggris, University of Warwick dan mendapatkan gelar Master Law in Development pada 2002.
Zainal Arifin Mochtar merupakan dosen di Universitas Gadjah Mada atau UGM sekaligus merupakan alumni dari UGM untuk mendapatkan gelar sarjana ilmu hukumnya. Kemudian pada tahun 2006 berhasil mendapat gelar Master of Law dari Universitas Northwestern, Chicago, Amerika Serikat. Pendidikannya berlanjut dan di tahun 2012 mendapatkan gelar S3-nya di UGM.
Di sisi lain ada Feri Amsari yang merupakan seorang aktivis hukum dan sekaligus dikenal sebagai cendekiawan Indonesia. Saat ini, yang bersangkutan mengajar di fakultas hukum Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat.
Feri Amsari memulai pendidikannya di fakultas hukum Universitas Andalas dan meraih gelar sarjana hukum dengan IPK Cumlaude pada tahun 2008. Setelah itu, pendidikannya berlanjut di bidang perbandingan hukum Amerika dan Asia di William and Mary Law School, Virginia.
5. Segera menuai pro kontra
Yaps, tentu saja kehadiran film dokumenter Dirty Vote menjelang masa tenang pemilu 2024 menuai pro dan kontra. Termasuk tim kampanye nasional (TKN) Prabowo – Gibran, yang diwakili oleh Habiburokhman selaku wakil ketua TKN Prabowo – Gibran menganggap bahwa film tersebut hanyalah suatu serangan yang di dalam narasinya hanyalah berisi asumsi belaka.
Habiburokhman berharap agar masyarakat tidak mudah terpancing dan tidak mudah percaya dengan isi narasi yang disajikan dalam film tersebut.
Bahkan, beberapa jam setelah film tersebut viral, Habiburokhman segera melakukan konferensi pers guna menepis kebenaran isi dari film yang tayang tersebut.
Sementara di sisi lain, banyak juga pihak yang pro dan merasa bahwa apa yang disampaikan dalam film dokumenter tersebut adalah fakta yang terjadi di lapangan, bukan asumsi atau fitnah belaka.
Lantas, bagaimana dengan Anda? Percaya bahwa film tersebut berisi suatu fakta yang dikemas dalam ‘film dokumenter’, atau lebih percaya bahwa isi film tersebut hanya asumsi dan fitnah yang diluncurkan untuk menyerang salah satu pasangan calon?
Apapun pandangan Anda, ingat, jangan golput 14 Februari mendatang. Mari memilih pemimpin terbaik untuk Indonesia.**